Hariannusantara.com – Ada pepatah yang berkata, “Ayah adalah cinta pertama setiap anak perempuan.” Kalau begitu, bila seorang perempuan memiliki kakak laki-laki, tak salah, kan, kakak lelakinya itu dijadikan cinta keduanya?
Menjadi anak sulung di keluarga mungkin beban bagi beberapa orang. Terlebih lagi, jika anak sulung kebetulan adalah seorang lelaki. Ketika Sang Ayah—mau tak mau—harus menerima status pensiun dari pekerjaannya, maka peran tulang punggung akan jatuh padanya. Belum lagi, adik-adiknya akan menetapkan mereka sebagai anutan hidup. Dengan begini, tentu, si sulung harus menunjukkan etika baik dan bersikap lebih dewasa.
Sulung ini pernah mengorbankan cita-citanya berkuliah di salah satu institut negeri ternama di Surabaya yang sudah tercapai karena menurut ayahnya jurusannya tidak menjamin pekerjaan yang mapan. Kelak akan menjadi tulang punggung mungkin sudah tertanam apik dalam pikirannya, sehingga ia mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri lagi setelah setahun berkuliah di Surabaya.
Si Sulung ingat ia harus memberi contoh baik bagi adik-adiknya. Ia turuti keinginan ayahnya dengan memilih jurusan yang disarankan. Bermodalkan keikhlasan, ia berhasil membuat sebuah politeknik menobatkannya menjadi mahasiswa Teknik Listrik.
Beberapa orang akan berpikir, menjadi yang tertua di kelas adalah hal memalukan, karena teman-teman akan memberi julukan “spesial” atau mengiranya siswa yang pernah tidak naik kelas. Namun, sepertinya, itu bukan hal yang besar bagi Si Sulung. Terbukti, ia bisa menerima beasiswa selama kuliah.
Setiap laki-laki harus punya latar belakang pendidikan yang tinggi.
Pastilahbanyak yang berpendapat begitu. Bisa jadi, ini alasanSi Sulung, sekali lagi, menuruti orang tua untuk melanjutkan kuliah ekstensi.Setelah mendapatkan gelar Ahli Madya, lelaki anutan adik-adiknya ini kembali menjadi mahasiswa untuk “mempercantik” gelarnya selama tiga tahun, terhitung sejak tahun 2006.
Selagi kuliah, ia juga bekerja di sebuah perusahaan. Orang tuanya membayar kuliah hanya untuk satu semester, kemudian semester-semester selanjutnya mereka berhenti. Katanya, ia tak pernah meminta sangu lagi pada keduanya. Nyatanya, ia menyisihkan separuh dari gaji untuk membayar sendiri biaya kuliahnya.
Ayahnya pernah menekankan ini kepadanya: “Kalau kamu sudah kerja, jangan seperti Ayah—diam saja di perusahaan itu, tidak mencoba lagi di perusahaan lain. Jadilah kutu loncat. Lamar sana-sini. Jangan mudah merasa nyaman pada satu perusahaan.”
Lagi, omongan ini tertanam apik di benak Si Sulung. Usai kuliah ekstensi, ia melamar di tempat lain, diterima, bekerja di sana, melamar lagi di perusahaan lain setelah beberapa tahun, diterima, bekerja di sana, kemudian melamar lagi. Entah terjadi berapa kali.
Tak terhitung jumlah perusahaan yang pernah menjadi tempat kerjanya.Demi dua keluarga yang harus dibiayai, ia melanglang buana ke negeri orang, meninggalkan keluarga kecil yang mulai dibinanya di tahun 2006. Ia benar-benar menjadi seorang Kutu Loncat.
Ia pernah berjanji pada orang tuanya akan membiayai kuliah adiknya yang paling kecil, dan Kutu Loncat ini menepati janjinya, enggan berhenti membuat Si Bungsuterinspirasi dan melepaskan status cinta kedua yang melekat padanya.
Tak perlu menunggangi seekor kuda putih untuk menjadi seorang pangeran bagi wanita. Tak perlu menggunakan topeng kelelawar hitam, berbaju biru dengan lambang S di dada, atau mengerluarkan jaring laba-laba dari telapak tangan untuk membuat lelaki menjadi pahlawan. Lelaki ini, Kakak sulung ini, sudah menjadi pangeran dan pahlawan bagi adiknya dengan menebarkan inspirasi.
Penulis :
Nama: Adinda Tiara Putri
Pekerjaan: Pelajar/Mahasiswa
Department of Printing Engineering and Publishing
Study Program: Publishing/Journalism
State Polytechnic of Jakarta