Hariannusantara.com – Krisis kemanusiaan yang terjadi pada muslim Rohingya di Myanmar tampaknya belum menemukan titik terang. Karena setelah operasi militer yang dilakukan oleh pasukan pengamanan Myanmar terhadap muslim Rohingnya, akhirnya hal tersebut berdampak pada pelarian diri 75 ribu muslim Rohingnya ke Bangladesh. Kini giliran pemimpin pejuang Rohingya, Ata Ullah, menantang Pemerintah Myanmar agar dapat berkomitmen untuk melindungi agama minoritas. Tantangan tersebut dialamatkan langsung pada pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Dalam wawancara pertama yang dilakukan media pada Jumat (31/3/2017), Ata Ullah membantah bahwa kelompoknya memiliki hubungan dengan kelompok teroris asing. Ata mengatakan bahwa perjuangannya selama ini hanya fokus pada hak-hak Rohingya yang menurutnya telah dirampas oleh kaum mayoritas Buddha Myanmar. Bahkan, kelompok yang dipimpinnya tidak segan untuk berperang melawan pemerintah militer Myanmar.
“Jika kami tidak mendapatkan hak-hak kami, jika satu juta, 1,5 juta, atau semua Rohingya harus mati, maka kami akan mati. Kami akan mengambil hak-hak kami. Kami akan bertarung dengan pemerintah militer yang kejam,” ungkap Ata Ullah.
“Tidak ada yang berada di atas hukum. Jika mereka menyerang kami dengan kekerasan, kami akan merespon dengan cara yang sama. Tidak ada tempat di dunia ini yang menoleransi tindakan kekerasan,” ujar juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, dalam menanggapi pernyataan Ata Ullah.
Berdasarkan pada laporan yang dirilis oleh PBB pada bulan lalu, menyebutkan jika pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap etnik Rohingya. Namun laporan dari PBB tersebut langsung dibantah oleh pihak militer Myanmar yang mengatakan jika operasi militer yang telah mereka lakukan itu sesuai dengan prosedur dan sah.
“Pada 2012, banyak hal yang terjadi dan mereka membunuh kami. Jadi kami mengerti pada waktu itu, mereka tidak akan memberikan hak-hak kami. Kami tidak bisa menyalakan lampu di malam hari. Kami tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di mana-mana ada pos pemeriksaan. Itu bukan cara manusia hidup,” kata Ata Ullah.
Menurut Ata pada tahun 2012 Rohingya banyak yang terbunuh di Myanmar dan banyak yang kehilangan haknya. Selain itu, pada malam hari orang-orang Rohingya tidak dapat menikmati listrik sehingga seluruh pemukiman etnik Rohingya gelap dan ruang geraknya sangat dibatasi oleh pemerintah. Tampaknya perjuangan kelompok pemberontak yang diketuai Ata Ullah tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh etnik Rohingya. Hal tersebut disampaikan oleh pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh kepada Reuters.