Hariannusantar.com – Longsor terjadi di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo Jawa Timur pada tanggal 1 April lalu, diperkiran telah menewaskan puluhan orang. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ada sekitar 28 korban yang masih tertimbun tanah longsor dan hingga kini keseluruhan korban masih belum dapat dievakusi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan beberapa alasan yang cukup mempersulit Tim SAR diantaranya adalah luasnya area longsor, hujan lebat yang membuat pencarian dihentikan sementara, keterbatasan alat, komunikasi serta bahaya longsor susulan.
“Ada perbedaan morfologi menyebabkan material longsor berbelok ke arah kiri meluncur dan menerjang permukiman mengikuti lereng. Jarak antara mahkota longsor dengan titik terakhir landaan longsor sekitar 2 kilometer, lebar landaan 200 meter, dan tebal longsor 20 meter. Ini salah satu yang menyebabkan sulit mencari korban tertimbun longsor,” jelas Sutopo.
Retakan di perbukitan yang terbentuk pada 11 Maret 2017, terus melebar sehingga terjadi longsor pada 1 April lalu. Mahkota longsor dengan titik akhir longsor berjarak cukup lebar yakni sekitar 2 kilometer dengan lebar landaan 200 meter dan tebal longsor 20 meter. Melebarnya area longsor ini menyebabkan Tim SAR mengalami kesulitan dalam proses evakuasi.
Untuk menyiasati keadaan di lapangan, BNPB beserta Badan Informasi Geospasial dan Badan Geologi sepakat menggunakan drone untuk pemetaan daerah longsor. Nantinya citra tersebut akan digunakan sebagai bahan kajian cepat operasi tanggap darurat. Tidak hanya itu, citra yang tangkap oleh drone secara langsung dapat digunakan untuk memantau daerah lain yang memiliki potensi mengalami longsor susulan. Dari hasil pemetaan dan survei menunjukkan longsor yang terjadi di Ponorogo tergolong jenis longsor translasi.